SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA !!! Dengan hadirnya blog ini, dapat memberi kita pelajaran bagaimana hidup seorang muslim sejati. serta, semoga isi-isi yang ada di blog ini bermanfaat bagi kalian semua, menambah wawasan tentang agama islam, semoga isi yang ada di blog ini menjadi renungan buat kita semua, menjadi pelajaran buat kita semua, semoga kita di ampuni dosa-dosa yang kita telah lakukan, semoga Allah memberi kita petunjuk ke jalan yang lurus, semoga kita termasuk orang-orang yang dekat kepda Allah, org yg selalu bertaqwa kepda Allah SWT, Amin !

Rabu, 10 Agustus 2011

Jangan Bangga dengan Dosa


 

PADA pertengahan Mei 2011 lalu, di halaman depan salah satu Koran ternama di Indonesia, memuat profil seorang tokoh pembuat film panas, yang konon katanya menjadi ‘penggagas’ mendatangkan para aktris film porno luar negeri di negeri yang mayoritas Muslim ini. Dari penjelasannya yang dimuat di Koran tersebut, tersirat kepuasan sang artis ‘panas’.

Padahal, jelas bahwa mengundang dan memproduksi film-film yang berbau porno itu adalah perbuatan cabul dan berdosa, karena mempertontonkan sesuatu yang tidak layak ditonton.

Lebih ganas lagi, tidak sedikit orang yang memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, untuk ‘mempromosikan’ perbuatan dosa yang pernah dikerjakannya.

Sebelumnya, seorang artis ternama diadili karena rekaman vidio porno mereka tersebar di internet dan HP. Apa pun alasannya, termasuk sebagai konsumsi pribadi, proses perekaman tidak dibenarkan, karena bisa mengundang minat si-pemilik atau pun orang lain untuk menyebarluaskannya. Ingat kata pepatah, “Tidak mungkin akan ada asap kalau tidak ada api.” Artinya, tidak mungkin ada penyebaran kalau tidak ada rekaman.

Herannya, di negeri ini, orang melakukan tindakan amoral masih bisa cengengesan (ketawa-ketiwi, red), di depan publik. Namun beginilah realitas dan potret nyata kehidupan sebagian masyarakat Indonesia yang tengah mengalami krisis moral, krisis malu ini.

Buahnya, mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa ada rasa cemas sedikit pun. Maka benar lah apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah yang dirwayatkan oleh Bukhari, “Idza lam tahtahyi fashna’ maa Syi’ta” (Apa bila kamu tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu).

Dosanya Lebih Besar

Sejatinya, tertutubnya suatu aib seseorang dari pengetahuan khalayak umum, merupakan ‘kebaikkan’ Allah yang dianugerahkan kepadanya. Sekali pun dia telah melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah, namun Dia tetap mengasihinya dengan cara mentabiri keburukkan yang telah ia perbuat.

Dengan demikian, seharusnya orang tersebut ‘bersyukur’ karena aibnya tidak terbongkar, bukan justru sebaliknya, membuka tabir yang telah tertutup rapat-rapat. Dan yang lebi celaka lagi, tidak sedikit orang justru bangga dengan menyebarluaskan keburukkannya tersebut (sebagaimana yang telah ditulis di atas).

Sungguh perilaku macam ini, adalah seburuk-buruk tindakkan. Dan dosanya, jauh lebih besar melampaui dosa perbuatan dosa yang telah dia kerjakan. Dalam suatu riwayat, Rosulullah pernah bersabda, bahwa sungguh celaka/terlaknat orang yang melakukan perbuatan dosa di malam hari, kemudian, keesokkannya ia menceritakan segala hal yang telah dia kerjakan kepada orang lain, padahal Allah telah menutupinya. Begitu pula sebaliknya, orang yang melakukan maksiat ke pada Allah pada siang hari, kemudian, malam harinya, dia menceritakan kepada kerabat-kerabatnya, padahal Allah pun telah menyekapnya rapat-rapat.

Bertaubatlah !

Manusia adalah tempat kesalahan lagi lupa,  "Al insaanu mahallul khoto wan nisyaan," kata pepatah. Artinya, bagaimana pun jua usaha kita menghindari kesalahan, sadar atau tidak sadar, manusia terkadang telah terjerumus dalam suatu kesalahan. Jangankan kita, manusia biasa, Nabi Muhammad, yang notabene sebagai kekasih Allah, pun tidak luput dari perkara ini.

Pernah suatu hari, ketika Rasulullah tengah asik mendakwahi para pemimpin Quraisy, tiba-tiba datang di tengah forum tersebut seorang laki-laki buta, yang kalau ditinjau dari kelas sosialnya, dia berada di level bawah, di banding tokoh-tokoh Quraisy yang berada di hadapan beliau.

Karenanya, Rosulullah pun kurang mempedulikan kehadiran laki-laki tersebut (Abdullah bin Ummi Maktum), padahal, kedatangannya untuk memenuhi panggilan Allah dan Rosul-Nya, mengucapkan kalimat syahadat. Karena perilaku tersebut, Rosulullah pun ditegur oleh Allah dengan diturunkannya surat ‘Abasa, yang artinya:

عَبَسَ وَتَوَلَّى
أَن جَاءهُ الْأَعْمَى
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berplaing. Karena seorang buta telah datang kepadanya.” (QS: Abasa: 1-2).

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa manusia tidak bisa menghindari kesalahan seratus persen. Dan yang menjadi permasalahan, bukan perilaku salah itu sendiri, namun cara pandang kita, atau respon kita terhadap kesalahan itulah yang perlu kita perbaikki.

Bertaubat merupakan kafarah dari kesalahan yang telah kita perbuat (Wa khairu khathaiina Thawwabiina). Dan ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh, penuh kesadaran. Kalau pelanggarannya tersebut hanya berkaitan dengan Allah, maka yang harus dia lakukan, menyesalinya dan tidak mengulanginya lagi untuk yang ke-duakalinya (Taubatan Nashuha).

Namun, apa bila itu berkaitan dengan urusan bani adam –mencuri- misalnya, maka, selain dia harus melakukan dua hal di atas, dia juga harus meminta maaf kepada siapa yang telah dia sakiti.

Dengan demikian, noda-noda hitam yang diakibatkan tingkah-laku buruk kita bisa dihapus, sebagaimana air yang mampu memadamkan api.

Rasulullah bersabda, “Bertaqwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada, ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik tersebut akan menghapus perbuatan buruk tersebut, dan pergauilah sesama manusia dengan akhlak yang baik”, (H.R. Tarmidzi).

Marilah kita ciptakan budaya malu berbuat maksiat dengan cara memperbanyak kebaikan. Sebagaimana firman Allah
وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفاً مِّنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
“Sesungguhnya kebaikkan-kebaikkan itu menghilangkan keburukkan-keburukkan.” (QS: Hud:114). Wallahu ‘alam bis-shawab.*

Cerdas dalam Beramal Sholeh



 
SEORANG ulama salaf pernah berkata: “Betapa banyak seorang hamba siang malam sujud dan bermunajad kepada Allah SWT, namun semuanya hampa tanpa sedikitpun pahala. Sebaliknya, ada hamba Allah yang terkesan “santai” dalam beribadah, tetapi oleh Allah diganjar dengan pahala melimpah” (Syeikh Zein bin Smith, al-Manhaj al-Sawi). Bagaimanakah hal ini bisa terjadi?
Kita pun berpikir, mestinya orang yang berpayah-payah beribadah itulah yang pantas mendapat pahala yang lebih. Sedangkan seorang hamba yang ibadahnya biasa-biasa saja itu diganjar dengan pahala yang tidak melimpah. Bukankah ibadah itu diganjar sesuai kadar kepayahannya?

Jangan Pandang Sebelah Mata “Kekasih” Nabi


 

SUATU hari Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam kedatangan seorang utusan kaum fuqara. Kepada baginda Nabi SAW dia berkata.” Ya Rasulullah, kami atas nama wakil para fuqara menghadapmu,” Jawab Nabi,” Selamat datang bagimu dan mereka, engkau datang mewakili orang-orang yang disenangi Allah.” Selanjutnya utusan itu bertanya,” Wahai Rasul pendapat di kalangan kami mengatakan, bahwa orang-orang kaya mampu melakukan segala amal baik: Ibadah hari dapat, sedangkan kami tidak; sedekah oke sedangkan kami untuk makan saja pas-pasan…
Rasulpun menjawab,” Sampaikanlah kepada mereka, bahwa jika mereka bersabar atas kefakiran maka akan memperoleh 3 pahala yang tidak diperoleh orang-orang kaya:

Makna Tauhid


Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).
Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.

Minggu, 24 Juli 2011

Iqra’, Menjadikan Anda Bebas dari Kejahilan!


 
Rabu, 08 Juni 2011 
BAPAK saya yang berusia 60 tahun, adalah seorang perokok berat. Beliau telah menjadi penghisap rokok sejak usia remaja, sehingga merokok nyaris tidak dapat dipisahkan dari kegiatan beliau sehari-hari. Bagi beliau rokok itu memberi manfaat; karena dengan begitu semangat kerja bertambah, rasa kantuk hilang. Sebaliknya bila tidak ada rokok, maka beliau tidak dapat menunaikan pekerjaannya dengan sempurnya. Begitulah pemahaman dan keyakinan yang beliau pegang bertahun-tahun.

Suatu hari beliau merasa kurang sehat. Badannya meriang, batuk-batuk dan nafas terasa sesak. Biasanya kalau beliau sakit seperti itu obatnya adalah ”Konidin”. Setelah beberapa hari diobati, ternyata sakitnya tidak sembuh juga, malah berambah parah saja. Nafasnya semakin sulit, dan batuknya kini mengeluarkan darah. Keluarga sepakat untuk membawa beliau memeriksakan diri ke dokter. Oleh dokter beliau diminta untuk melakukan rongsen paru-parunya. Dari hasil rongsen maupun pemeriksaan dokter disimpulkan bahwa paru-paru beliau bocor. Penyebabnya adalah kebiasaan merokok yang telah beliau lakukan sejak lama. 

Keutamaan Zikir Dengan Memuji, Mengagungkan dan Mensucikan Nama Allah


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ »
Ada dua kalimat (zikir) yang ringan diucapkan di lidah, (tapi) berat (besar pahalanya) pada timbangan amal (kebaikan) dan sangat dicintai oleh ar-Rahman (Allah Ta’ala Yang Maha Luas Rahmat-Nya), (yaitu): Subhaanallahi wabihamdihi, subhaanallahil ‘azhiim (maha suci Allah dengan memuji-Nya, dan maha suci Allah yang maha agung)”[1].
Hadits ini menunjukkan besarnya keutamaan mengucapkan dua kalimat zikir ini dan menghayati kandungan maknanya, karena amal shaleh ini dicintai oleh Allah Ta’ala dan menjadikan berat timbangan amal kebaikan seorang hamba pada hari kiamat[2].
Oleh karena itu, makna dua kalimat zikir ini disebutkan dalam al-Qur’an sebagai doa dan zikir penghuni surga, yaitu dalam firman Allah Ta’ala,
{دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلامٌ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}
Doa mereka (penghuni surga) di dalam surga adalah: “Subhanakallahumma” (maha suci Engkau ya Allah), dan salam penghormatan mereka ialah: “Salaam” (kesejahteraan bagimu), serta penutup doa mereka ialah: “Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamin” (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam)” (QS Yunus: 10)[3]

Berahlaq Yang Baik Dimanapun!


 

 
DALAM kehidupan sehari-hari, dapat dipastikan seorang manusia tidak dapat hidup seorang diri. Ia pasti butuh pertolongan dan bantuan orang lain. Dari rasa saling membutuhkan inilah timbul jalinan persaudaraan atau ukhuwah, pertemanan, dan lain-lain.
Dalam hubungannya dengan masalah ini, sifatnya ada yang langgeng dan tidak. Sebuah persaudaraan bisa langgeng jika didasari oleh keinginan untuk mencari ridha Allah. Sebaliknya, ia tidak akan bisa langgeng jika dasarnya bukan karena mencari ridha Allah.
Banyak orang yang berteman akrab hanya sewaktu ada kepentingannya saja. Namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.
Misalkan seseorang senang ketika orang lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun tidak mau.
Hal-hal seperti itu semestinya tidak terjadi pada diri seorang Muslim. Sebab Islam telah memberi tuntunan yang jelas tata cara bergaul dan berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal yang paling penting yang diajarkan oleh Islam yaitu hendaknya setiap Muslim dalam melakukan pergaulan didasari oleh niat mencari ridha Allah.

Rabu, 29 Juni 2011

Meninjau Penggunaan Hadits Dho’if dalam Fadhilah Amal


Hadits dho’if adalah setiap hadits yang mardud (tertolak) yang tidak memenuhi syarat hadits shahih atau hadits hasan. Boleh jadi hadits tersebut terputus sanadnya, terdapat perowi yang tidak ‘adl (tidak sholih), sering berdusta, dituduh dusta, sering keliru, atau hadits tersebut memiliki ‘illah (cacat yang tersembunyi) atau riwayatnya menyelisihi riwayat perowi yang lebih tsiqoh (lebih terpercaya) darinya.
Tersebarnya hadits dho’if atau yang lebih parah lagi hadits palsu menyebabkan berbagai amalan tanpa tuntunan tersebar di tengah-tengah ummat Islam. Perusakan Islam dengan cara seperti ini sebenarnya lebih parah dari penyerangan tentara Yahudi terhadap umat Islam. Karena yang merusak dengan menyebarkan hadits dho’if dan palsu adalah umat Islam sendiri, amat jarang dari luar Islam. Kita lihat sendiri semacam amalan puasa Nishfu Sya’ban atau shalat pada malam Nishfu Sya’ban terjadi karena motivasi dari hadits dho’if. Begitu pula beberapa dzikir tanpa tuntunan seringkali jadi amalan juga karena motivasi dari hadits-hadits dho’if atau bahkan palsu yang sengaja dibuat-buat oleh orang-orang yang bermaksud baik namun lewat jalan yang keliru.
Dalam Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi menukilkan perkataan Abul Fadhl Al Hamadani, di mana ia berkata, “Orang yang berbuat bid’ah dalam Islam dan yang sengaja membuat hadits maudhu’ (yang palsu yang diriwayatkan oleh perowi pendusta, pen), sebenarnya mereka lebih merusak daripada orang mulhid (musuh Islam). Karena orang mulhid bermaksud merusak Islam dari luar.”[1]
Siapa saja yang membicarakan suatu lantas ia katakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal itu dusta, maka ia termasuk salah satu di antara dua pendusta dan ia terancam dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3).

Kemuliaan Membawa Hadist


Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
نَضَّرَ اللهُ امْرَءاً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثاً فَحَفِظَهُ – وفي لفظٍ: فَوَعَاها وَحَفِظَها – حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ إلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ
Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dariku, lalu dia menghafalnya – dalam lafazh riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya –, hingga (kemudian) dia menyampaikannya (kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya” (Hadits yang shahih dan mutawatir).
Takhrij Hadits dan Derajatnya
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Abu Dawud (no. 3660), at-Tirmidzi (no. 2656), Ibnu Majah (no. 230), ad-Darimi (no. 229), Ahmad (5/183), Ibnu Hibban (no. 680), ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 4890), dan imam-imam lainnya.
Hadits ini adalah hadits yang shahih dan mutawatir, karena diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabatradhiyallahu ‘anhum dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak sekali[1].
Imam Shalahuddin al-’Ala’i berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak, dari sejumlah besar sahabat radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Abdullah bin mas’ud, Jubair bin muth’im, Zaid bin Tsabit, Nu’man bin Basyir, Abu Sa’id al-Khudri, Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Jabir bin Abdillah, Rabi’ah bin ‘Utsman, Abu Qarshafah dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum[2].

Selasa, 28 Juni 2011

Keutamaan membaca shalawat


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْرُ دَرَجَاتٍ
Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anjuran memperbanyak shalawat tersebut[2], karena ini merupakan sebab turunnya rahmat, pengampunan dan pahala yang berlipatganda dari Allah Ta’ala[3].
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Banyak bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan tanda cinta seorang muslim kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam[4], karena para ulama mengatakan: “Barangsiapa yang mencintai sesuatu maka dia akan sering menyebutnya[5].
- Yang dimaksud dengan shalawat di sini adalah shalawat yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam hadits-hadits beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih (yang biasa dibaca oleh kaum muslimin dalam shalat mereka ketika tasyahhud), bukan shalawat-shalawat bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang datang

Kamis, 02 Juni 2011

Syarat Agar Taubat Diterima

Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada Alloh dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar tobat sesaat yang diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali. Lalu bagaimanakah agar taubat seorang hamba itu diterima?

Syarat Taubat Diterima
Agar taubat seseorang itu diterima, maka dia harus memenuhi tiga hal yaitu:
(1) Menyesal, (2) Berhenti dari dosa, dan (3) Bertekad untuk tidak mengulanginya.

Wahai Manusia Lihatlah Hatimu!!


Rosulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang artinya: “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah. jika segumpal darah tersebut baik maka akan baik pulalah seluruh tubuhnya, adapun jika segumpal darah tersebut rusak maka akan rusak pulalah seluruh tubuhnya, ketahuilah segumpal darah tersebut adalah hati.” (Yang lebih benar untuk penyebutan segumpal darah (القلب ) tersebut adalah jantung, akan tetapi di dalam bahasa Indonesia sudah terlanjur biasa untuk menerjemahkan القلب dengan “hati”).
Maka hati bagaikan raja yang menggerakkan tubuh untuk melakukan perbuatan-perbuatannya, jika hati tersebut adalah hati yang baik maka seluruh tubuhnya akan tergerak untuk mengerjakan hal-hal yang baik, adapun jika hatinya adalah hati yang buruk maka tentunya juga akan membawa tubuh melakukan hal-hal yang buruk. Hati adalah perkara utama untuk memperbaiki manusia, Jika seseorang ingin memperbaiki dirinya maka hendaklah ia memperbaiki dahulu hatinya!!!

Sikap Seorang Muslim Terhadap Ayat dan Hadist Tentang Asma dan Sifat Allah


Sungguh Alloh subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan kepada kita bahwasanya Dia mempunyai ilmu yang sempurna, mengetahui apa yang yang ada pada diri-Nya dan apa yang ada pada selain-Nya, sebagaimana firman Alloh subhanahu wa ta’ala yang artinya: “Katakanlah, apakah kamu lebih mengetahui ataukah Alloh?” (al-Baqoroh: 140). Berita yang datang dari Alloh subhanahu wata’ala merupakan sebenar-benar berita, yang wajib bagi seorang muslim untuk membenarkannya, Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Alloh.” (an-Nisa’: 87). Kemudian Alloh subhanahu wa ta’ala menurunkan al-Qur’an ini kepada manusia yang paling mulia Muhammad shollallohualaihi wasallam melalui malaikat yang paling mulia Jibril‘alaihissalam.

Minggu, 29 Mei 2011

Pemuda yang Mendapatkan Naungan Allah


Masa muda merupakan masa sempurnanya pertumbuhan fisik dan kekuatan seorang manusia. Maka ini merupakan nikmat besar dari Allah Ta’ala yang seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-sebaiknya untuk amal kebaikan guna meraih ridha Allah Ta’ala. Dan sebagimana nikmat-nikmat besar lainnya dalam diri manusia, nikmat inipun nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
{أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ. لِيَوْمٍ عَظِيمٍ. يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ}
Tidakkah mereka itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar (dasyat), (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam (Allah Ta’ala)” (QS al-Muthaffifiin: 4-6).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan bergesar kaki seorang manusia dari sisi Allah, pada hari kiamat (nanti), sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang lima (perkara): tentang umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya digunakan untuk apa, hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan, serta bagaimana di mengamalkan ilmunya”[1].
Akan tetapi bersamaan dengan itu, masa muda adalah masa yang penuh dengan godaan untuk memperturutkan hawa nafsu. Seorang pemuda yang sedang dalam masa pertumbuhan fisik maupun mental, banyak mengalami gejolak dalam pikiran maupun jiwanya, yang ini sering menyebabkan dia mengalami keguncangan dalam hidup dan berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari berbagai masalah tersebut[2].
Dalam kondisi seperti ini, tentu peluang untuk terjerumus ke dalam keburukan dan kesesatan yang dibisikkan oleh setan sangat besar sekali, apalagi Iblis yang telah bersumpah di hadapan Allah U bahwa dia akan menyesatkan manusia dari jalan-Nya dengan semua cara yang mampu dilakukannya, tentu dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template